MEDIATRIAS.COM – Amir, 45 tahun, tampak lesu melangkah gontai menuju sepeda motornya. Hijaunya seragam angkutan dalam jaringan (daring) yang dikenakannya tak se’hijau’ perasaannya yang gundah. Tidak lama lagi rumahnya akan digusur oleh perusahaan penerima alokasi di area lahan Bandar Udara Hang Nadim, Batam. Pria itu tidak tahu, di balik pengalokasian lahan itu pejabat BP Batam menangguk jutaan dolar.
”Rumah dan pekarangan yang saya bangun sudah diukur beberapa bulan lalu. Tinggal menunggu pembayaran. Tetapi berapa nilainya belum dikasih tahu perusahaan (penerima alokasi lahan Bandara Hang Nadim). Mudah-mudahan cukup untuk uang muka rumah sederhana, kalau tidak, ya, pasrah saja. Lihat nanti lah, mau tinggal di mana,” kata Amir kepada Tim Awak media.
Amir yang kerja sehari-hari penarik ojek daring, tidak mengetahui masalah di balik persoalan hunian ‘liar’ yang mereka tempati. Amir telah menghuni lokasi itu sejak 2001 atau 22 tahun silam. Dia bersama rekan-rekannya sesama penghuni telah berkali-kali memohon agar lahan di kawasan Teluk Bakau, yang merupakan bagian dari wilayah Rencana Induk Bandar Udara (RIB) Hang Nadim, dialokasikan bagi mereka untuk sekadar tempat tinggal.
Sebelumnya, Amir bekerja di Kawasan Industri Kabil atau Taiwan Industrial Park (TIP) Kabil, Kecamatan Nongsa, Batam. Tetapi sejak 5 tahun lalu, perusahaan tempat dia bekerja telah tutup dan pindah ke Thailand. ”Sejak beberapa tahun terakhir, perusahaan di Batam semakin banyak yang tutup, dan pilihan terbaik adalah menekuni ojek. Kalau tidak, mau makan dari mana,” ucap Amir.
Sebaliknya, pejabat Badan Pengusahaan (BP) Batam yang mengalokasikan 165 hektar lahan sebagai bagian dari 1.762,700144 hektar RIB Hang Nadim, tak tampak batang hidungnya membela warga yang tertindas dalam kemiskinan. Meski ratusan perwakilan warga mengadukan nasibnya ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam, namun jeritan itu tak mampu membukakan mata petinggi BP Batam yang telah dibutakan oleh jutaan dolar suap dari pengusaha. Catatan Redaksi.
Sejak 2015 banyak perusahaan tutup di Batam, dan kawasan-kawasan industri sepi, seperti Kawasan Industri Muka Kuning, Panbil, Bintang, Tunas, hingga kawasan industri di Sekupang, Tanjunguncang, Batuampar hingga Batam Center. ”Apalagi sejak pandemi Covid-19, tidak lagi ada harapan untuk bisa bekerja di perusahaan. Kebijakan BP Batam sejak berada di tangan Ex Officio, tidak semakin lebih baik, malah makin banyak perusahaan yang tutup,” tutur Amir.
Penjelasan Amir sinkron dengan histori pengelolaan industri di Batam. Pada 2016 beredar ribuan spanduk ”Tolak UWTO di Batam.” UWTO adalah singkatan dari Uang Wajib Tahunan Otorita (sejak UU nomor 36 tahun 2000 Otorita Batam berubah nama menjadi BP Batam). Sejak beredarnya spanduk pada 2016 itu, narasi ‘dualisme’ BP Batam dengan Pemerintah Kota Batam kian menguat. Sejak saat itu, terjadi politisasi dalam pengelolaan industri di Batam. Puncaknya adalah keputusan Ex Officio Kepala BP Batam di tangan wali kota pada 2019 yang merupakan produk politik (baca: hasil pemilihan umum kepala daerah).
Sejak 2019, terjadilah exodus besar-besaran para pekerja industri yang tidak lagi berpeluang mendapat lowongan kerja di perusahaan industri. Sebab pengelolaan industri selalu diganggu dengan masalah politik, mulai dari masalah ketenaga-kerjaan, masalah perizinan dan alokasi lahan, hingga kebijakan di bidang investasi dan kepelabuhanan. Banyak kasus lahan investor yang dibatalkan, dan para calo tanah berkeliaran menawarkan lahan ke calon pembeli. Lahan apa saja, jika ada pembeli, akan dialokasikan oleh BP Batam, seperti right of way (ROW) jalan atau ruang milik jalur (Rumija), hingga hutan lindung.
Muncullah pelebaran-pelabaran jalan yang tidak bermanfaat, serta pengerukan tanah di sisi jalan yang digunakan untuk menimbun hutan manggrove (hutan bakau) untuk dijadikan kawasan komersial, perumahan dan jasa. Puncaknya adalah penjualan ratusan hektar lahan di RIB Hang Nadim, yang dibarengi dengan suap dan/atau gratifikasi jutaan dolar. Pimpinan BP Batam disinyalir mendapat suap sebesar US$6 per meter untuk pengalokasian lahan di area Hang Nadim, yang mencapai US$9,9 juta atau setara dengan Rp154,838,475,000.
Di saat pejabat BP Batam menangguk dolar, warga di Teluk Bakau kini sedang dilanda kecemasan mencari tempat pemukiman baru. Derita yang mendalam di tengah sulitnya mencari pekerjaan di Pulau Batam, dan tingginya angka kemiskinan. Padahal, menurut Ketua Rukun Warga (RW) 02 Teluk Bakau, Diki Primana, pihaknya telah berkali-kali memohon agar BP Batam bersedia mengalokasikan lahan itu untuk sekadar tempat tinggal mereka. ”Kami tinggal di sini turun menurun dari orangtua kami terdahulu. Bahkan sebelum bandara dibangun. Kenapa BP Batam mengalokasikan lahan tersebut untuk pihak perusahaan,” kata Diki Primana (https://owntalk.co.id/2022/10/25/warga-teluk-bakau-resah-proses-ganti-rugi-lahan-dicampuri-oknum-ditpam/).
Sebaliknya, pejabat Badan Pengusahaan (BP) Batam yang mengalokasikan 165 hektar lahan sebagai bagian dari 1.762,700144 hektar RIB Hang Nadim, tak tampak batang hidungnya membela warga yang tertindas dalam kemiskinan. Meski ratusan perwakilan warga mengadukan nasibnya ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam, namun jeritan itu tak mampu membukakan mata petinggi BP Batam yang telah dibutakan oleh jutaan dolar suap dari pengusaha.
Empat perusahaan yang telah menerima alokasi itu, antara lain: (a) PT Prima Propertindo Utama, (b) PT Batam Prima Propertindo, (c) PT Cakra Jaya Propertindo, dan (d) PT Citra Tritunas Prakarsa. Padahal, sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan RI nomor 47 tahun 2022 tentang Rencana Induk Bandar Udara Hang Nadim yang dikeluarkan pada 9 Maret 2022 semua area kawasan bandara yang memiliki total seluas 1.762,700144 hektar itu tidak boleh dialihkan ke peruntukan lain. Namun demi menangguk dolar, kesengsaraan warga tidak berarti apa-apa. (*)
( Team )